Analisis Kasus Hukum Progresif Di Indonesia
1. Latar Belakang
Negara Indonesia pada amandemen ke-3 UUD 1945
mempertegas statusnya sebagai negara hukum melalui penambahan ayat
terakhir (3) dari pasal 1 UUD 1945. Hal ini mungkin disebabakan pada
masa Orde Baru kekuasaan banyak diselewengkan, sehingga dengan penambahan
pasal ini, maka semua rakyat Indonesia, tanpa melihat statusnya, harusnya
mampu berbuat dengan kesiapan bertanggung jawab di hadapan hukum
yang berlaku di Indonesia.
Melihat hal tersebut, negeri yang mempunyai beragam
macam tipe karakter manusia, ratusan juta jiwa hidup dalam nusantara, berjuta
pemikiran ada didalamnya, berjuta keinginan yang disatukan dengan Pancasila.
Negara dengan undang-undang sebagai dasar pedoman berjuta umat khatulistiwa. Akankah
semua warga negara mampu dengan lapang dada menerimanya.
Besar dan kecil memang jauh berbeda, namun apa yang
terjadi ketika semua permasalahan diselesaikan dengan sama rata, apakah
ketakutan manusia dengan suatu kata “hukum” akan tetap berlanjut dan menjadi
suatu momok yang menakutkan ditengah-tengah masyarakat
Memang dibutuhkan suatu senandung indah agar
masyarakat dapat sedikit menikmati alunan irama hukum, setidaknya mereka bisa
membuka sedikit mata dan memberikan hati terhadap hukum yang ada di negeri ini,
bukan hanya bersembunyi dibawah selimut ketakutan ketika terdengar kata hukum
diucapkan.
Bukan suatu kesalahan bila suatu hukum memandang
setiap manusia itu sama, tetapi sebuah kesalahan yang teramat besar bila hukum
tidak bisa melihat lebih dalam kasus yang terjadi sebenarnya. Mengadili hanya
melihat ekspektasi tanpa melihat kebenaran yang hakiki.
Meskipun memang keadilan tertinggi akan tetap terus
dipegang oleh sang ilahi, tetapi manusia juga diberkahi otak dan juga hati
nurani, diberikan untuk berfikir dan juga mengasihi, paham mana yang dilakukan
untuk terus menyambung hari, dan paham mana yang digunakan untuk diri sendiri.
Jika tetap seperti ini, apakah suatu kesalahan dimata
hukum ketika memberikan sedikit keadilan yang harusnya didapatkan bertentangan
dengan aturan yang telah dicatatkan?. Akankah negeri ini akan tetap dianggap
memiliki hukum yang tajam keatas dan tumpul kebawah. Disini saya akan sedikit
mengutarakan tentang hukum progresif.
Hukum Progresif dimulai dari suatu asumsi dasar bahwa
hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif tidak menerima
hukum sebagai institusi yang mutlak serta final, melainkan sangat ditentukan
oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia.
Hukum Progresif menolak tradisi analytical
jurisprudence atau rechtsdogmatiek, dan menolak berbagai paham atau
aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological
jurisprudence, interressenjurisprudenz di Jerman, teori hukum
alam dan critical legal studies. Hukum progresif merupakan koreksi
terhadap kelemahan sistem hukum modern yang sarat dengan birokrasi serta ingin
membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal. Hukum Progresif
menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui
institusi-institusi kenegaraan.
Tujuan dari hukum Progresif adalah untuk melindungi
rakyat menuju kepada ideal hukum dan menolak status-quo, serta tidak
ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu
institusi yang bermoral.
Secara lebih spesifik hukum Progresif
antara lain bisa disebut sebagai "hukum yang pro-rakyat" dan "hukum
yang pro-keadilan". Gagasan hukum Progresif muncul karena kepribadian
terhadap keadaan hukum di Indonesia. Para pengamat, termasuk pengamat
internasional sudah mengutarakannya dalam berbagai ungkapan yang negatif,
seperti sistem hukum di Indonesia termasuk yang terburuk di dunia. Rakyat pun
berpendapat demikian, namun mereka tidak mengutarakannya sebagai suatu tuturan
yang jelas, melainkan melalui pengalaman konkret mereka dengan hukum
sehari-hari, seperti halnya kelemahan mereka berhadapan dengan hukum dan
keunggulan orang kuat yang cenderung lolos dari hukum.
Kepercayaan kepada hukum makin menurun yang disebabkan
oleh kinerja buruk hukum itu sendiri. Sejak tahun 70-an
istilah "mafia pengadilan" sudah memperkaya kosakata bahasa
Indonesia. Pada masa Orde Baru hukum sudah makin bergeser menjadi alat politik
untuk mempertahankan kekuasan waktu itu. Dengan demikian, hukum bukan
lagi "law as a tool of social engineering" secara positif
terjadi, namun melainkan "dark engineering"
Masuk
ke Era Reformasi sejak tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, bangsa Indonesia
belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal,
tetapi justru malah makin menimbulkan kekecewaan, khususnya yang berhubungan
dengan pemberantasan korupsi.
2. Teori Hukum
Teori hukum progresif
menurut Satjipto Raharjo menegaskan bahwa hukum adalah untuk
manusia, dan bukan sebaliknya.
“Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan
juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita” (Profesor Satjipto Rahardjo).
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan
pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk
manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik
orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena
itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.
Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan
manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang
pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan
setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada
peraturan, tetapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam
ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan
perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada,
tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan buruk
tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk
menghadikarkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat
melakukan interprestasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. Untuk
itu agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif
menterjemahkan hukum itu dalam kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus
dilayaninya.
Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara
langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat
institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan
ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil
tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi
dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.
Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2
(dua) macam tipe penegakan hukum progresif :
1. Dimensi
dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka
terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat
yang mendasari penegakan hukum progresif.
2. Kebutuhan
akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta
teoritisi hukum Indonesia
Hukum progresif mengajarkan kepada kita
bahwa hukum bukanlah raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang
berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari
progresifisme hukum adalah yang pertama hukum ada untuk manusia, bukan untuk
dirinya sendiri, yang kedua hukum selalu ada pada status law in the making, dan tidak bersifat final, yang ketiga hukum
adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
`Berdasrkan
asumsi-asumsi diatas maka kriteria hukum progresif adalah:
1. Mempunyai tujuan
besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia
2. Memuat kandungan
moral kemanusiaan yang sangat kuat
3. Hukum progresif
adalah hukum yang membebaskan meliputi dimensi yang sangat luas yang tidak
hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori
4. Bersifat kritis dan
fungsional
3.
Contoh kasus
penegakan hukum di Indonesia
Negara
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Continental “positivism” yaitu semua
hukum dan peraturan ditetapkan dengan undang-undang, bertentangan dengan konsep
hukum progresif. Jadi tidak banyak kasus-kasus hukum progresif yang ada di di
Indonesia.
Contoh
hukum progresif yang ada di Indonesia berkisah dari seorang nenek asal Banyumas
yang bernama Nenek Minah berusia 55 tahun
yang tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di
perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) akan menjadikannya sebagai
pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan untuk perbuatannya itu dia diganjar 1
bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
Ironi
hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan
garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga
dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao.
Ketika
sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang
sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai
sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak
disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.
Dan
tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu
pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku
hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh
dilakukan karena sama saja mencuri.
Sadar
perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan
melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor
tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali bekerja.
Namun
dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang. Sebab
seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum
terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus
pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Dan
hari ini, Kamis (19/11/2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang
Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan.
Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP
tentang pencurian.
Selama
persidangan yang dimulai pukul 10.00 WIB, Nenek Minah terlihat tegar. Sejumlah
kerabat, tetangga, serta aktivis LSM juga menghadiri sidang itu untuk
memberikan dukungan moril.
Hakim
pun menangis, suasana persidangan Minah berlangsung penuh keharuan. Selain
menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai terdakwa, majelis hakim juga
terlihat agak ragu menjatuhkan hukum. Bahkan ketua majelis hakim, Muslih
Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis.
"Kasus
ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih.
Vonis
hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan disambut gembira
keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti sidang tersebut. Mereka
segera menyalami Minah karena wanita tua itu tidak harus merasakan dinginnya
sel tahanan.
4.Analisis
Kasus
Pertama, negara kita adalah negara hukum Pancasila,
sudah bukan lagi negara hukum rechtstaat seperti sebelum adanya amandemen UUD1945.
Artinya negara kita bukanlah penganut stelsel hukum civil law murni yang
mengagungkan kodifikasi hukum sebagai suatu mahakarya. hal ini mengakibatkan
hakim sudah tidak berposisi sebagai corong undang-undang (subsumtie automat)
yang hanya menerapkan rumusan undang-undang tanpa mempertimbangkan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor
4 tahun 2004, yaitu :
ayat
(1)
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
ayat
(2)
Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.Oleh karena
itu jelas bahwa hakim tidak hanya memutus berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan saja, melainkan lebih ditekankan agar
menggali serta mengikuti dan memahami rasa keadilan masyarakat.
Nenek
Minah didakwa melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian dengan ancaman pidana
maksimal lima tahun penjara, yang lengkapnya berbunyi:
"Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah".
Oleh karena itu kita kupas lebih dalam terlebih dahulu unsur-perunsur dari Pasal 362 KUHP ini.
1. Barang
siapa
Yang dimaksud barang
siapa adalah setiap orang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
dianggap mampu bertanggungjawab. Dalam kasus ini Nenek Minah termasuk ke dalam
kategori dapat bertanggungjawab (baik karena sudah cukup umur, maupun karena
sehat secara jasmaniah). Namnun unsur setiap orang ini bukanlah merupakan delik
inti (bestaand delicht), sehingga dengan terpenuhinya unsur ini belum membuktikan
adanya kesalahan dalam diri Nenek Minah.
2. Mengambil
barang yang seluruhnya ataupun sebagian adalah milik orang lain
Berdasarkan Pasal 600
KUHPerdata, segala apa yang tertanam atau tersemaikan di sebuah pekarangan,
adalah kepunyaan pemilik pekarangan itu. Jadi bisa dkatakan bahwa pohon, buah,
maupun biji kakao yang merupakan hasil dari pohon kakao yang ada di perkebunan
tempat Nenek Minah bekerja adalah kepunyaan pemilik perkebunan. Dan unsur
mengambil barang yang seluruhnya ataupun sebagian adalah milik orang lain telah
terpenuhi.
3. Dengan
maksud dimiliki secara melawan hukum
Nenek Minah mengambil 3
biji kakao tersebut dengan tujuan untuk menanamnya sendiri, dan kemudian pohon
kakao yang tumbuh dari biji kakao tersebut menjadi milik Nenek Minah. Namun
disisni saya harus terlebih dahulu menjelaskan secara gamblang apakah tindakan
tersebut melawan hukum atau tidak. Ada 3 hal yang harus dijelaskan, yaitu
mengenai sifat melawan hukum formil, sifat melawan hukum materil, dan kriteria
perbuatan melawan hukum berdasarkan jurisprudence Lindenbaum dan Cohen tahun
1919.
Sifat melawa hukum formil adalah suatu perbuatan itu
bersifat melawan hukum apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai
suatu delik (tindak pidana) dalam suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan
sifat melawan hukum materil adalah suatu perbuatan melawan hukum atau tidaknya
digantungkan pada azas-azas hukum tidak tertulis, misalnya rasa keadilan
masyarakat. Perbuatan Nenek Minah jelas hanya memenuhi kriteri sifat melawan
hukum formil.
Berdasarkan jurisprudence Lindenbaum dan Cohen tahun
1919, kriteria perbuatan melawan hukum adalah sebagai berikut:
1.
Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku. Seharusnya Nenek Minah
berkewajiban untuk tidak melanggar hak pemilik perkebunan atas hasil kebunnya.
2.
Melawan hak subjektif orang lain. Bahwa
Nenek Minah telah melawan hak subjektif pemilik perkebunan atas hasil kebunnya.
3.
Melawan kaidah tata susila. seharusnya
Nenek Minah meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik perkebunan untuk mengambil
biji kakao tersebut.
4. Bertentangan dengan asas kepatutan,
ketertiban, ketelitian, serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki
seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyrarakat atau terhadap harta
benda orang lain. Nenek Minah sepatutnya meminta izin terlebih dahulu untuk
mengambil biji kakao tersebut sesuai tata krama dalam pergaulan masyarakat dan
untuk menghormati hak kebendaan orang lain.
Jadi pada dasarnya rumusan Pasal 362 KUHP telah
terpenuhi. Namun negara ini bukanlah penganut civil law murni, sehingga perlu
diperhatikan apakah ada mens rea/evil mind/niat batin yang jahat pada diri
Nenek Minah. Pada dasarnya apa yang dilakukan Nenek Minah adalah karena
ketidaktahuan, bukan karena dia sengaja ingin mencuri dan memiliki biji kakao tersebut.
Dia tidak tahu bahwa perbuatannya itu melawan hukum.
Hal inilah yang menjadikan Jaksa Penuntut Umum tidak
menuntut hukuman maksimal atas apa yang telah diperbuat oleh Nenek Minah. Hakim
pun dirasa telah cukup bijak mempertimbangkan segala hal yang meringankan
maupun memberatkan terdakwa, sehingga menjatuhkan putusan pidana penjara selama
1,5 bulan dipotong masa tahanan, dan oleh karena masa tahanan rumah telah
melebihi pidana penjaranya, maka Nenek Minah tidak perlu menjalankan pidana
penjaranya.
Sedangkan secara sosiolgis dalam penyelesaian kasus
pencurian yang dilakukan oleh Mbah Minah, mungkin tanpa harus melalui jalur
peradilan karena pencurian yang dilakukan oleh mbah Mina masih tergolong
pencurian dalam skala kecil dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau
dengan cara penyelesaian sengketa yang lain tanpa melalui jalur peradilan.
Apalagi jika ditinjau mengenai hukum sebagai alat kontrol sosial fungsi hukum
pidana adalah subsidair, artinya hukum pidana hendaknya digunakan manakala,
usaha-usaha lain diluar hukum pidana sudah tidak dapat mengatasi dan tidak
memadai. Dalam kasus diatas hendaknya digunakan penyelesaian diluar hukum
pidana terlebih dahulu, baru jika usaha tersebut gagal hukum pidana digunakan
sebagai jalan keluar.
5.
Kesimpulan
Negara Indonesia pada amandemen ke-3 UUD 1945
mempertegas statusnya sebagai negara hukum melalui penambahan ayat
terakhir (3) dari pasal 1 UUD 1945, yang menetapkan pemerataan keputusan hukum
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum progresif adalah hukum yang melakukan
pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga
mampu membiarkan hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi
kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasan atau keberpihakan
dalam menegakkan hukum. Sebab hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan dan
kesejahteraan bagi semua rakyat.
Melihat contoh kasus Mbah Minah, sesungguhnya Indonesia
bukanlah negara hukum murni, melainkan negara hukum Pancasila, sudah bukan lagi
negara hukum rechtstaat seperti sebelum adanya amandemen UUD1945. Artinya
negara kita bukanlah penganut stelsel hukum civil law murni yang mengagungkan
kodifikasi hukum sebagai suatu mahakarya. hal ini mengakibatkan hakim sudah
tidak berposisi sebagai corong undang-undang (subsumtie automat) yang hanya
menerapkan rumusan undang-undang tanpa mempertimbangkan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Berdasarkan Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004.
Hakim tidak hanya memutus berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan saja, melainkan lebih ditekankan agar menggali
serta mengikuti dan memahami rasa keadilan masyarakat. Budaya menyelesaikan
masalah dengan jalan sosiologis sebenarnya masih melekat pada masyarakat
Indonesia. Dalam penyelesaian kasus pencurian yang dilakukan oleh Mbah Minah,
mungkin tanpa harus melalui jalur peradilan karena pencurian yang dilakukan
oleh mbah Mina masih tergolong pencurian dalam skala kecil dan bisa
diselesaikan secara kekeluargaan atau dengan cara penyelesaian sengketa yang
lain tanpa melalui jalur peradilan. Mungkin saat itu mbah minah berhadapan
dengan orang yang kurang sesuai dengan ciri khas masyarakat Indonesia yang
menjunjung rasa kekeluargaan dan persatuan.
Comments
Post a Comment