LANDASAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB

 HUKUM JILBAB DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) 3
 Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Dosen Pengampu : Miftah Sholehuddin, M.HI





Disusun Oleh
Ugik Sugianto  (16230070)

JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN 2017/2018


LANDASAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG
 HUKUM JILBAB DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS

Ugik Sugianto
Universitas Maulana Malik Ibrahim

ABSTRAK
Terjadinya perbedaan pendapat mengenai kewajiban memakai jilbab antara jumhur ulama dengan ulama kontemporer, Quraish Shihab melalui ijtihad yang beliau lakukan memgeluarkan fatwa bahwa tidak wajibnya untuk mengenakan jilbab , dengan metode analisis isi penulis menganalisis buku-buku karya Quraish Shihab dan beberapa opini sebagai bahan rujukan dalam membuat kesimpulan

A. Latar Belakang
Bagi setiap muslimah menutup aurat adalah sebuah kewajiban, aurat dalam shalat adalah menutup semua anggota tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan dan seluruh ulama dan mujtahid menyetujuinya. Tapi bagaimana aurat untuk kegiatan sehari-hari kita? Terjadi perbedaan pendapat dari para ulama mengenai jilbab. Memakai jilbab merupakan kewajiban bagi setiap muslimah yang telah baligh (tandanya adalah keluar darah haid)[1]. Fungsi jilbab adalah untuk menutupi aurat dari penglihatan orang yang bukan mahram.

Penentuan batas aurat ini adalah suatu hal furu’ (cabang) yang bersifat ijtihadi. meskipun terdapat dua ayat Al-Qur’an yang secara tekstual memiliki pengertian berbeda mengenai batasan aurat yang diwajibkan tertutup jilbab, namun hukum jilbab adalah wajib dan ini disepakati oleh mayoritas ulama. Namun, didalam menentukan kewajiban hukum memakai jilbab yang telah disepakati oleh ulama salaf muktabar pada zaman itu, penulis menemukan pendapat ulama kontemporer yang mengatakan bahwa  kaum muslimah yang telah balig tidak wajib memakai jilbab. Di antara ulama yang mengemukakan pendapat tersebut adalah Muhammad Syahrur, beliau berpendapat bahwa ayat-ayat tentang jilbab dalam al-Qur’an itu bukanlah ayat-ayat tasyrī’ (penetapan hukum) namun termasuk ayat taklim (pengajaran) sebab khiṭāb yang disebutkan adalah Muhammad sebagai Nabi bukan Muhammad sebagai Rasul[2]. Dan ulama lain yang mempunyai pendapat yang sama adalah Qāsim Āmin yang biasa disapa Muḥarrir Al-Mar’ah (pembebas wanita).

Munculnya macam-macam perbedaan penetapan hukum berjilbab ini bukanlah hal furū’ (cabang), tetapi akan termasuk hal aṣl (pokok). Uniknya, diantara pendapat yang mewajibkan dan pendapat yang tidak mewajibkan berjilbab dituliskan semua dalam buku-buku yang disusun oleh ulama Indonesia yang terkenal yakni M. Quraish Shihab. Sikap dari Quraish Shihab demikian itu menimbulkan banyak kontroversi dari mayoritas ulama, karena beliau terkesan membingungkan. Terlebih lagi, beliau juga pernah menyatakan fatwanya kepada umat islam melalui media elektronik. Maka dari itu, penulis berkeinginan untuk meneliti makna jilbab menurut beliau. Karena beliau adalah salah satu mufasir yang ternama di Indonesia dan banyak menjadi sorotan masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merusmuskan beberapa masalah yang didapat sebagai berikut:
1.      Bagaimana pandangan Quraisy Syihab terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang hijab?
2.      Metode-metode apa yang dipakai Quraish Syihab dalam membangun argumennya?
3.      Apa kelebihan dan kekurangan argumen Quraish Shihab?

A. Kajian Pustaka
Melihat dari uraian latar belakang diatas, walaupun terdapat dua ayat Al-Qur’an yang mewajibkan memakai jilbab. Namun terjadi perbedaan antara jumhur ulama dengan para pembaharu Islam kontemporer tentang hukum jilbab. Salah satu yang berpendapat tidak wajibnya jilbab adalah Quraish Shihab, beliau adalah seorang ulama dan mufasir Indonesia yang berpendapat bahwa wanita Indonesia tidak diwajibkan memakai jilbab. Penulis berpikir bahwa penting untuk mengkaji masalah ini karena sebelum kita berpihak dan mengikuti pendapat tersebut, tentunya kita harus mengetahui pendapat yang paling rajîh, pendapat yang sinkron dengan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat, serta kelebihan dan kelemahan masing-masing argumen, baik yang mewajibkan maupun yang tidak mewajibkan jilbab. Karena sebagaimana diketahui bahwa para ulama masa lalu sepakat tentang bagian rambut wanita sebagai aurat, namun para ulama kontemporer, juga mayoritas ulama Indonesia pada masa lalu justru membolehkan wanita muslimah memakai kerudung (yang menampakkan sebagian rambut dan leher wanita). Perbedaan fakta ini menimbulkan pertanyaan besar dalam benak kita, dan akan kita bahas disini.

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
Al-Qur’an merupakan sumber utama sebagai rujukan hukum islam, dan didalamnya terdapat dua macam ayat yaitu muhkam dan mutasyabih, ayat muhkam adalah ayat yang memiliki satu makna dan tidak dapat diartikan selain makna tersebut. Dan ayat mutasyabih adalah ayat yang multi tafsir, dapat diartikan sesuai dengan pemahaman para mufasir dalam memaknai ayat tersebut. Pada pembahasan tentang jilbab terjadi perbedaan pendapat dari kalangan para mujtahid pada kewajiban untuk mengenakan jilbab. Dan dasar hukum untuk memakai jilbab dijelaskan dalam firman Allah SWT surat An-Nur : 31 dengan arti sebagai berikut:

QS.AN-NUR:31
Katakanlah kepada wanita yang beriman :“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.

Dapat diketahui dari ayat diatas bahwa Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW di atas adalah agar beliau menyampaikan kepada kaum mukminah agar menahan pandangan, menjaga kemaluan, mengulurkan kain kerudung hingga menutupi dada serta melarang untuk memperlihatkan perhiasan, kecuali yang biasa nampak, dan kebolehan menampakkan perhiasan itu hanya dikhususkan bagi mahramnya saja.

Muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memaknai kalimat illâ mâ zhahara minhâ (kecuali apa yang nampak darinya (perhiasannya)) dalam ayat ini. Al-Qurthubi mengemukakan bahwa Ibnu Mas’ud memahami makna illâ mâ zhahara minhâ sebagai pakaian. Sedangkan Sa’id bin Jubair, Atha’ dan Al-Auza’I berpendapat bahwa yang boleh dilihat adalah wajah wanita, kedua telapak tangan di samping busana yang dipakainya[3]. Sementara Ibnu Abbas[4], Qatadah dan Miswar bin Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh dilihat termasuk juga celak mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi dengan pacar, anting, cincin dan semacamnya[5]. Menurut keterangan Ibnu Umar, Ikrimah dan Atha’ dalam riwayat Ibnu Katsir, perhiasan zhahir ialah muka dan kedua telapak tangan, serta cincin. Riwayat Ibnu Katsir yang lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan zhahir ialah muka dan telapak tangan[6]. Sedangkan menurut Tafsir Khazîn, Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa kecuali apa yang zhahir itu adalah pakaian[7].

QS.AL-AHZAB : 59
Ayat yang mewajibkan untuk memakai jilbab ini juga dikuatkan oleh firman Allah SWT dalam Surat Al-Aḥzab : 59 dengan arti sebagai berikut:
Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah SWT adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ketika membaca ayat ini juga muncul masalah tentang makna jilbab, karena disini para mufasir berbeda pendapat. Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Muhammad Ibn Sirin bertanya kepada Abidah al-Salamani tentang maksud penggalan ayat itu, lalu Abidah mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil menutup kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan wajahnya dan membuka mata kirinya untuk melihat dari arah sebelah kirinya. Al-Suddi menyatakan bahwa wanita menutup salah satu matanya dan dahinya, demikian jika bagian lain dari wajahnya kecuali satu mata saja. Pakar tafsir Al-Alusi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata ‘alaihinna adalah seluruh tubuh mereka. Akan tetapi menurutnya ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah di atas kepala mereka atau wajah mereka karena yang nampak pada masa jahiliyah adalah wajah mereka[8].

Al-Biqa’i menjelaskan beberapa pendapat seputar makna jilbab. Diantaranya adalah baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi badan wanita. Semua pendapat ini menurut ulama itu dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud dengan jilbab adalah baju, maka ia adalah pakaian yang menutupi tangan dan kakinya. Kalau kerudung maka perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian[9].

Dari kedua ayat di atas, terdapat perbedaan batasan aurat yang disebutkan.Yang pertama dalam surat An-Nur: 31 menyebutkan perintah untuk menjulurkan jilbab hanya sampai dada, dan yang kedua dalam surat Al-Aḥzab: 59 ini memerintahkan untuk mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh. Hampir semua ulama sepakat bahwa perintah ayat di atas berlaku bukan saja pada zaman Nabi saw, tetapi juga sepanjang masa hingga kini dan masa yang akan datang. Namun sementara ulama kontemporer memahaminya hanya berlaku pada zaman Nabi saw di mana ketika itu ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Menurut penganut paham terakhir ini, jika tujuan tersebut telah dapat dicapai dengan satu dan cara lain, maka ketika itu pakaian yang dikenakan telah sejalan dengan tuntunan agama.

HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM
Adapun sumber hukum dari hadis (tentang batas aurat wanita) yang diperdebatkan para ulama diantaranya adalah hadis berikut:
Pertama, hadis dari Aisyah r.a., ia berkata: “Bahwa Asma’ putri Abu Bakar r.a. datang menemui Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka Rasulullah saw berpaling enggan melihatnya dan bersabda, “Hai Asma’, sesungguhnya perempuan jika telah haid maka tidak lagi wajar terlihat darinya kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke arah wajah dan kedua telapak tangan beliau) (Abu Dawud. kitab al-Libas, hadis no.4104).
Hadis ini dinilai dengan penilaian yang berbeda-beda oleh para pakar hadis. misalnya Abu Dawud menilai hadis ini mursal karena Khalid bin Duraik yang dalam sanadnya menyebut nama istri Nabi Aisyah r.a. secara pribadi, sedang ia tidak semasa dengan Aisyah[10](Dawud, t.th). Imam Muslim menyatakan hadis ini mursal, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah[11]. Selain Khalid bin Duraik, terdapat nama perawi lain yang juga dianggap bermasalah menurut  pandangan pakar hadis, yaitu Said bin Basyir ada yang menilainya dha’if[12]. Sedangkan dari sisi matan, hadis ini juga ditolak karena tidak mungkin Asma’ yang terkenal sebagai wanita yang baik keberagamaan dan ketaqwaannya berani berpakaian tipis ketika menghadap Rasulullah saw[13]. Sedangkan al-Albani menilai hadis ini shahîh dengan alasan bahwa ada sekian banyak riwayat yang senada dengannya, sehingga hadis di atas dapat dinilai shahîh[14]. Hampir serupa dengan pendapat al-Albani, Syeikh Muhammad al-Ghazali yang juga menilai hadis ini mursal menegaskan bahwa karena dikuatkan oleh beberapa riwayat lainnya, hadis ini jauh lebih kuat dibanding hadis yang dijadikan dasar kewajiban menutup seluruh tubuh wanita. Selain itu ia juga berpendapat bahwa ada sebagian wanita pada masa jahiliyah dan juga pada masa Islam yang kadang-kadang menutupi wajah-wajah mereka seraya membiarkan mata mereka tanpa penutup. Perbuatan seperti ini menurutnya jelas termasuk adat-istiadat dan sama sekali tidak termasuk ibadah. Karena menurutnya tidak ada ibadah tanpa nash yang jelas[15].

Kedua, hadis dari Abdullah bia Abbas r.a., ia berkata:
“Rasulullah saw membonceng al-Fadhl putra al-Abbas r.a. pada hari an-Nahr (lebaran Haji) di belakang kendaraan (unta) beliau. Al-Fadhl adalah seorang pria yang berseri (gagah). Nabi saw berdiri memberi fatwa pada khalayak. Lalu datang seorang perempuan dari suku Khats’am, berseri (cantik) dan bertanya kepada Rasulullah saw. al-Fadhl terus-menerus memandangnya dan kecantikan wanita itu menakjubkannya, maka Nabi menoleh sedang al-Fadhl melihat kepada wanita itu, lalu Nabi memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fadhl, beliau memalingkan wajah al-Fadhl dari pandangan kepada wanita itu. lalu wanita itu berkata, “Sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hamba-Nya adalah haji, tetapi saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak mampu duduk di atas kendaraan, maka apakah boleh saya menghajikan untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.” (Bukhari, kitab al-Maghazi, hadis no.4048. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan lain-lain).
Para ulama tidak mempermasalahkan ke-shahih-an hadis ini, meskipun terjadi perdebatan panjang tentang makna hadis tersebut. Hadis ini menunjukkan bahwa terdapat bagian tubuh wanita yang dapat dilihat atau tidak harus ditutup, dalam hal ini menurut banyak ulama adalah wajah dan tangannya. Ulama yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat menolak pemahaman seperti itu. mereka berargumen dengan sederet alasan, diantaranya: Pertama, perbuatan Nabi saw memalingkan wajah al-Fadhl menunjukkan adanya larangan menampakkan wajah perempuan. Kalau hal itu dibolehkan, tentu Nabi saw tidak akan berbuat demikian. Kedua, bisa jadi kecantikan wanita dalam hadis tersebut diketahui melalui bentuk tubuhnya, atau jari-jarinya. Ketiga, kalaupun dikatakan bahwa wajah wanita itu terbuka, maka itu disebabkan karena dia dalam keadaan berihram. Sedangkan wanita yang berihram boleh membuka wajahnya

B.  METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi (content analysis method), sumber data berasal dari beberapa karya Quraish Shihab, diantaranya Tafsir al-Misbah, yang merupakan referensi pokok yang tidak bisa diabaikan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dengan cara mengklasifikasikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang dijadikan sumber perdebatan para ulama masa lalu dan kontemporer tentang hukum memakai jilbab dalam bentuk per-tema maupun per-bab. Selanjutnya analisis dilakukan dengan beberapa metode berikut: Pertama, metode deduktif digunakan untuk menjelaskan dan menyimpulkan prinsip-prinsip dan teori-teori thariqatul istinbath al-ahkam yang digunakan, serta faktor yang mempengaruhinya. Kedua, metode hermeneutika-kritis digunakan untuk memahami dan kemudian melakukan analisa kritis atas sumber, metode dan aplikasi ijtihad Quraish Shihab dalam masalah yang diteliti.

C.  PAPARAN DAN ANALISIS DATA

PANDANGAN QURAISH SHIHAB
Setelah kita mengetahui hukum Jilbab dan pandangan para mufasir dalam menerjemahkan QS.An-Nur:31, bagaimana Pandangan Quraish shihab terhadap Qs.An-Nur dan bagaimana tanggapan beliau tentang perbedaan pandangan para mufasir sebelumnya, beliau  berpendapat bahwa masing-masing penganut pendapat di atas sebatas menggunakan logika dan kecenderungannya serta dipengaruhi secara sadar atau tidak dengan perkembangan dan kondisi sosial masyarakatnya. Batas aurat wanita tidaklah secara jelas ditegaskan dalam ayat tersebut. Sehingga ayat tersebut tidak seharusnya menjadi dasar yang digunakan untuk menetapkan batas aurat wanita[16] Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya tidak selalu harus diartikan wajib atau haram, tetapi bisa juga perintah itu bermakna anjuran, sedangkan larangan-Nya dapat berarti sebaiknya ditinggalkan[17].

Sementara dalam memahami kalimat illâ mâ zhahara minhâ, Quraish Shihab berpendapat bahwa sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum, namun dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip-prinsip ajaran agama serta norma-norma umum. Karena itu ia sampai kepada pendapat bahwa pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah melanggar aturan agama[18].

Pandangan Quraish shihab terhadap Qs.Al-Ahzab Terlepas apapun makna jilbab yang diyakini oleh tiap-tiap mufasir, yang lebih penting menurut Quraish Shihab adalah apakah perintah mengulurkan jilbab pada ayat tersebut berlaku hanya pada zaman Nabi saw atau berlaku sepanjang masa? Quraish Shihab memahami perintah tersebut hanya berlaku pada zaman Nabi saw, dimana ketika itu ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Menurutnya, sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak – yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. Karena itu lelaki usil sering kali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui atau duga sebagai sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan keterhormatan wanita muslimah ayat di atas turun[19].

Hadits kedua Dalam mengomentari hadis ini Quraish Shihab berpendapat bahwa wanita dalam hadis itu terlihat cantik, tanpa menyatakan bahwa wajah dan telapak tangannya terbuka. Memang kecantikan sangat mudah hanya dapat diketahui dari wajah, sehingga kemungkinan terbukanya wajah wanita itu merupakan sesuatu yang sangat logis. Bahkan jika ada yang berkata bahwa selain wajahnya – misalnya setengah tangannya atau lebih dari itu terlihat pula – maka tidak dapat ditolak dengan hadis di atas[20]. Artinya bisa saja dikatakan bahwa kecantikan wanita itu terlihat jelas sedang ketika itu ia tidak menggunakan jilbab, dan pernyataan semacam ini tidak dapat disalahkan dengan hadis ini.

Adapun Quraish Shihab cenderung menganggap bahwa semua kemungkinan yang dikemukakan oleh kedua kelompok ulama tersebut dapat saja terjadi, meskipun ia merasa sebagian dalih yang dikemukakan terkesan agak dibuat-buat. Menurutnya, jilbab – baik dengan membuka wajah atau menutupnya – pada masa Nabi saw, disamping dipercaya sebagai tuntunan agama juga telah merupakan tuntunan budaya[21]. Sekali lagi Quraish menegaskan bahwa interpretasi dalil atau dalih yang dikemukakan oleh para ulama tidak sampai pada batas yang dapat membuktikan secara pasti pendapat masing-masing[22]. Dengan kata lain, Quraish tidak menganggap bahwa ayat al-Qur’an maupun hadis di atas tidak bisa dijadikan dasar pendapat bahwa selain wajah dan kedua telapak tangan, seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat. Di sini Quraish Shihab tampaknya mulai melepaskan diri dari pendapat-pendapat ulama terdahulu yang selama ini menghegemoni pandangan kaum muslimin tentang batas aurat.

Pendekatan dan Metode yang digunakan Quraish Shihab
Quraish Shihab menggunakan beberapa pendekatan dan metode yang biasa dipakai oleh para ulama dalam berijtihadn untuk membangun argumennya, yaitu:
Pertama, Pendekatan Tarjih. Kalau pemaknaan tarjih oleh ulama kontemporer yang mengartikan tarjih sebagai upaya menyeleksi beragam pendapat yang berasal  dari beragam madzhab, kemudian diambil pendapat yang rajih, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dapat diterima, maka dapat dikatakan bahwa Quraish sebenarnya juga telah menerapkan pendekatan ini. Bahkan, kalau kita memakai definisi Coulson yang menyebut tarjih sebagai upaya takhayyur atau prinsip pilihan bebas[23], maka dapat dipastikan bahwa Quraish Shihab telah menggunakan metode tarjih. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Quraish Shihab telah melemahkan semua dalil yang digunakan para ulama masa lalu dalam menetapkan batas aurat wanita dengan cara mengkritik satu-persatu keadaan sanad hadis yang menjadi dalil-dalil wajibnya jilbab, bahkan tidak hanya dari aspek sanad, tetapi juga dari segi cara-cara penafsiran-penafsiran yang dikemukakan para ulama  dianggapnya tidak sampai pada derajat yang meyakinkan. Setelah melakukan tarjih atas hadis-hadis itu ia berpendapat bahwa perbedaan pendapat para pakar masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi untuk terlihat dari wanita, membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang nilai ke-shahîh-an riwayat-riwayat yang ada, dan ini sekaligus menunjukkan bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi itu bersifat zhanniy (dugaan) yang boleh jadi dinilai kuat oleh satu pihak dan dinilai lemah oleh pihak lain. Menurutnnya, seandainya terdapat hukum yang pasti yang bersumber dari al-Qur’an atau Sunnah, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas atau sempitnya batas-batas itu. selanjutnya ia menegaskan bahwa menutup seluruh kepala baru tegas menjadi wajib hanya jika para ulama bersepakat menilai shahîh hadis Aisyah r.a. yang mengecualikan wajah dan telapak tangan untuk terbuka. Sedangkan kenyataannya para ulama berbeda pendapat tentang nilai serta interpretasi hadis tersebut.

Kedua, Pendekatan ‘illat al-hukm. Secara bahasa,‘illat adalah suatu sebab dimana hukum itu diterapkan. Adapun syarat utamanya adalah suatu ‘illat hukum mesti jelas, konsisten dan sesuai dengan maqâshid syarî’ah, yaitu membawa kemaslahatan. Quraish Shihab menggunakan metode ini untuk memahami maksud QS. Al-Ahzab: 59 yang memerintahkan wanita mengulurkan jilbab dengan tujuan membedakan antara wanita merdeka dengan hamba sahaya, atau antara wanita terhormat dengan yang tidak terhormat pada masa turunnya ayat tersebut, agar wanita terhormat tidak diganggu oleh lelaki usil. Adapun pada masa sekarang ketika perbudakan sudah tiada, dan pada konteks masyarakat tertentu keterhormatan atau ketidakterhormatan tidak disimbolkan dengan pakaian jilbab, maka jika demikian, yang penting dalam konteks pakaian wanita adalah memakai pakaian yang terhormat – sesuai dengan perkembangan budaya positif masyarakat terhormat – dan yang mengantar mereka tidak diganggu atau mengganggu dengan pakaiannya itu. di sisi lain, penampakan setengah betis telah menjadi kebiasaan umum dan tidak lagi menimbulkan rangsangan bagi masyarakat umum, dan juga tidak mengurangi keterhormatan seorang wanita. Sehingga berpakaian nasional dengan penampakan rambut serta setengah betis bagi wanita dapat dibenarkan. Hal itu disebabkan karena ketidaan ‘illat hukum dapat membatalkan diterapkannya hukum. ‘Illat seperti ini termasuk dalam dalalah syarahah, yaitu ‘illat yang disebutkan secara jelas oleh ayat jilbab tersebut.

Ketiga, Metode istihsan (bi al-‘Urf). Menurut penulis, Quraish Shihab tampak menggunakan metode istihsan (bi al-‘Urf) dalam argumennya. Yaitu ketika ia memahami kalimat illâ mâ zhahara minhâ, dan sampai pada pendapat bahwa sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam penetapan hukum (dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip-prinsip ajaran agama serta norma-norma umum), dan menggunakan alasan diamnya ulama Indonesia pada masa lalu melihat cara berpakaian wanita muslimah yang cenderung tradisionalis (tanpa memakai jilbab) sebagai bentuk kesepakatan dari cara berpakaian wanita muslimah ketika itu, dan sampainya ia pada pendapat bahwa pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah melanggar aturan agama, maka ia tampak menggunakan metode istihsan (bi al-‘urf).

Menurut pembacaan penulis, kata jilbab pada QS. Al-Ahzab [33]: 59 tidak dimaksudkan untuk menyembunyikan perempuan muslim dari laki-laki muslim, tetapi untuk membuat mereka tampak jelas, sehingga bisa dikenali atau dibedakan oleh laki-laki jahiliyah, karena itu jilbab merupakan bentuk perlindungan terhadap para wanita.

Bentuk pengakuan atau perlindungan ini berakar dari struktur sosial masyarakat yang melegalkan kepemilikan budak, dimana pelecehan seksual – terutama terhadap para budak – merupakan fenomena umum. Meskipun sangat memuakkan, praktik-praktik pengekangan terhadap perempuan bukan hanya terjadi di negeri Arab, praktik tersebut bahkan dipandang normal pada masa itu. Dalam masyarakat kuno, wanita-wanita yang lalu lalang di depan publik dipandang sebagai pelacur. Karenanya dalam masyarakat semacam itu, ketentuan tentang jilbab berfungsi untuk membedakan perempuan yang berada di bawah perlindungan laki-laki dan perempuan yang bersedia dilecehkan secara seksual[24] . Jadi dalam menetapkan ketentuan tentang jilbab, al-Qur’an secara eksplisit mengaitkan jilbab dengan masyarakat yang mengakui sistem perbudakan, dimana pelecehan perempuan oleh laki-laki nonmuslim sudah lumrah terjadi, dan tujuannya adalah untuk membedakan perempuan beriman yang merdeka dari para budak, yang biasanya dipandang oleh laki-laki jahiliyah sebagai perempuan nonmuslim sehingga dapat mereka perlakukan semau mereka.

Jadi, hanya dalam masyarakat jahiliyah yang mengakui sistem perbudakan itulah jilbab menandakan perlindungan dari pelecehan seksual, dan itupun sekiranya laki-laki jahiliyah mau memaknainya dengan cara seperti itu. konsekwensinya, meskipun dipakai oleh perempuan muslimah, jilbab menggambarkan fenomena pelecehan dan kebebasan seksual laki-laki jahiliyah pada masa ketika perempuan tidak memiliki perlindungan hukum atas pelecehan seksual, dan harus mengandalkan diri sendiri untuk melindunngi dirinya. Lebih jauh, seperti yang dinyatakan dengan tegas dalam ayat tersebut, pada masa pewahyuannya, beberapa laki-laki jahiliyah melancarkan propaganda terhadap kaum muslimin (termasuk juga upaya melecehkan istri Nabi, Aisyah r.a. dengan cara menyerang integritas pribadinya). Jadi, perempuan muslimah memiliki alasan ganda untuk bersikap hati-hati terhadap pelecehan oleh laki-laki nonmuslim.

Selama meneliti pemikiran Quraish Shihab tentang masalah jilbab ini, penulis mencatat beberapa poin yang penulis anggap sebagai kelebihan dan beberapa poin lagi yang penulis anggap sebagai kelemahan terhadap pemikirannya.

Adapun kelebihannya diantaranya: Pertama, Kalau kita lihat dari sisi ‘urf  bahasa, sebelum ayat 31 surat an-Nur, yaitu ayat 27 hingga 29 membicarakan tentang anjuran meminta izin terlebih dahulu ketika hendak memasuki rumah orang lain. Sedangkan pada ayat 32 (setelah ayat jilbab) membicarakan tentang anjuran membantu laki-laki atau wanita yang belum kawin dengan hamba sahaya (agar terhapus perbudakan). Berdasarkan ‘urf bahasa, kalau ayat sebelum dan sesudah ayat jilbab (ayat 31) tersebut berbicara tentang anjuran, maka ayat jilbab pun juga membicarakan tentang anjuran, bukan kewajiban. Hal tersebut didukung dengan kenyataan bahwa semua ayat baik sebelum maupun sesudah ayat jilbab, selalu dihubungkan dengan bentuk kata hubung wa. Sedang kata wa sebagaimana yang disepakati ahli bahasa, memiliki bentuk penekanan yang sama. Kedua, Hadis mursal adalah dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Ini adalah pendapat mayoritas ahli hadis. Pada dasarnya para ulama tidak mempermasalahkan tentang gugurnya periwayat dari tingkat sahabat, tetapi karena adanya kemungkinan yang gugur dalam urutan periwayatan hadis mursal tersebut adalah dari tingkat tabi’in. Ketiga, tidak ada pengharaman kecuali dengan nash yang shahîh dan sharîh. Pada dasarnya manusia terbebas dari tanggungan dan taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan nash yang pasti. Karena itu, masalah mewajibkan dan mengaharamkan dalam agama merupakan suatu urusan yang serius, tidak boleh sembarangan. Sehingga apa yang tidak diwajibkan oleh Allah, atau tidak diharamkan oleh-Nya, maka manusia tidak boleh mewajibkan atau mengharamkannya.

Selain beberapa kesepakatan tersebut, ada beberapa poin yang menjadi bahan kritikan peneliti terhadap argumen-argumen Quraish Shihab. Pertama, Quraish Shihab menyatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah[25]. Pendapat itu memang benar, akan tetapi para ulama masa lalu tidak berselisih tentang wajibnya jilbab. Sebagaimana yang telah dijelaskan Quraish sendiri bahwa para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas aurat wanita. Mereka terbagi menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat; Kedua, kelompok yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan telapak tangan[26]. Artinya para ulama sepakat bahwa memakai jilbab adalah wajib, mereka hanya berbeda pendapat dalam masalah apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat atau tidak. Kecuali kalau Quraish Shihab memasukkan ulama kontemporer tentu dapat dibenarkan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah. Namun jika yang dimaksud adalah ulama masa lalu, maka tentu kurang tepat. Kedua, pemaparan Quraish Shihab tampak tidak seimbang. Sebab Quraish lebih banyak menyebutkan pendapat para ulama yang mewajibkan jilbab secara singkat tanpa menjelaskan argumen-argumen mereka secara memadai, sebaliknya ia hanya menyebut beberapa saja dari para ulama dan cendikiawan yang tidak mewajibkan jilbab, meskipun dengan mengemukakan argumen-argumen mereka yang sangat panjang. Hal seperti ini menurut penulis jika dilihat dari sudut pandang ilmiah dapat menurunkan objektifitas Quraish Shihab sebagai pemikir yang benar-benar ingin menyampaikan kebenaran.

D.    KESIMPULAN
Quraish Shihab tidak mewajibkan wanita muslimah di Indonesia memakai jilbab. Menurutnya, memakai jilbab bukanlah termasuk perintah agama, karena tidak boleh dikatakan syari’at tanpa nash yang jelas. Sedangkan pendekatan yang digunakan Quraish adalah pendekatan tarjih dan pendekatan ‘illat al-hukm, serta metode istihsan bi al-‘urf. Pandangan Quraish Shihab juga dipengaruhi oleh pemikiran para pembaharu dan cendikiawan kontemporer seperti Qasim Amin, Muhammad Abduh, Sa’id al-Asymawi, serta Thahir bin Asyur.

Beberapa hal yang menulis sepakati dari argumen Quraish adalah kesesuaiannya dengan ‘urf bahasa, tidak menggunakan hadis mursal sebagai dalil hukum, serta tidak mengharamkan kecuali dengan nash yang shahîh dan sharîh. Adapun kritikan penulis terhadap argumen Quraish Shihab adalah pernyataannya bahwa masalah batas aurat wanita adalah masalah khilafiyah. Itu memang benar, tetapi para ulama masa lalu sepakat tentang wajibnya rambut wanita ditutup baik di dalam maupun diluar sholat. Selain itu pemaparan Quraish Shihab juga tampak tidak seimbang. Sebab Quraish lebih banyak menyebutkan pendapat para ulama yang mewajibkan jilbab secara singkat tanpa menjelaskan argumen-argumen mereka secara memadai, sebaliknya ia hanya menyebut beberapa saja dari para ulama dan cendikiawan yang tidak mewajibkan jilbab, meskipun dengan mengemukakan argumen-argumen mereka yang sangat panjang.

Demikian uraian panjang mengenai pemikiran Quraish Shihab tentang jilbab. Namun sebelum penulis mengakhiri hasil kajian ini, penulis menangkap kesan bahwa selama ini, kita hampir tidak bisa membedakan mana budaya Arab dan mana ajaran Islam. Ketidakpahaman itu berakibat pada sikap sementara umat Islam yang rejektif terhadap budaya yang ada. Konsekwensinya Islam terasa sempit dan kaku. Menutup aurat merupakan ajaran Islam yang baku dan mesti dilakukan dimanapun. Ini merupakan contoh Islamisasi. Bagaimana cara menutup aurat? Islam memberikan kebebasan untuk memilihnya. Namun yang jelas menurut penulis, masalah menutup aurat diserahkan kepada adat masyarakat setempat.



[1]  Hukum memakai jilbab bagi muslimah, suara Muhammadiyah, no.5, thn.ke-96, hal.15
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi tafsir kontemporer (Bantul: LKIS,2011), hlm.277
[4] Katsir, Abu al-Fida’ al-Wafa Ismail Ibn, 1986, Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Fikr, jilid 3
[5] Al-Qurthubi, Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari, 1998, Al-Jami’ li al-Ahkam Al-Qur’an. t.tp: Dar Ulum Al-Qur’an, Jilid 12 dan 14.hal.335
[6] Al-Dimsiqy, Imaduddin Ismail Ibn Amr Ibn Katsir al-Quraisy, t.th, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, Mesir: Dar Al-Halabiy.hal.335
[7] Al-Khazin, Abdullah Ibn Muhammad, 1399 H, Lubab Al-Ta’wil fi Ma’ani Al-Tanzil, Beirut: Dar al-Fikr.hal.235
[8] Al-Alusi, Mahmud, 1985, Ruh al-Ma’ani, Kairo: Al-Muniriyah, cet.4, jilid 22.hal.84
[9] Al-Biqa’i, Ibrahim bin Umar, 1995, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet.1, jilid 6.hal.135
[10]Dawud, Abu, t.th, Tahqiqi Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi, Beirut: Dar as-Sunnah an-Nabawiyah, jilid 3.
[11] Al-Nawawi, t.th, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy, Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, jilid 1.
[12] Al-Asqalani, Ahmad Ibnu Hajar,  t.th, Fath al-Bari. (Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet. 2, Jilid 8.hal.9
[13] Ismail, Muhammad Ahmad, t.th, Audat al-Hijab, Riyadh: Dar ath-Thibah, jilid 3.hal.339
[14] Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 1413 H, Jilbab al-Mar’ah al-Muslimat fi al-Kitab wa As-Sunnah, Yordan: Maktabah al-Islamiyah, cet.2.hal.44
[15] Al-Ghazali, Muhammad, 1989, As-Sunnah An-Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, Kairo: Dar Asy-syuruq, cet.5.hal.55
[16] Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.67
[18] Shihab,Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawdhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan hal.179
[19] Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.309
[20] Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.107
[21] Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.118
[22] Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.111
[23] Coulson, Noel J. 1964, A History of Islamic Law, Edinburg: Edinburg University Press.hal.185
[24] Ahmed, Leila, 1992, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate, New Haven, Connecticut: Yale University Press.hal.15
[25] Syihab, Quraish,2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.10.hal.180
[26] Syihab, Quraish,2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.10.hal.94

Comments