LANDASAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG JILBAB
HUKUM JILBAB DALAM AL-QUR’AN
DAN HADITS
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester (UAS) 3
Mata Kuliah Metodologi
Penelitian
Dosen Pengampu : Miftah Sholehuddin, M.HI
Disusun Oleh
Ugik Sugianto (16230070)
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2017/2018
LANDASAN PEMIKIRAN QURAISH SHIHAB TENTANG
HUKUM
JILBAB DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS
Ugik Sugianto
Universitas Maulana
Malik Ibrahim
ABSTRAK
Terjadinya perbedaan pendapat mengenai
kewajiban memakai jilbab antara jumhur ulama dengan ulama kontemporer, Quraish
Shihab melalui ijtihad yang beliau lakukan memgeluarkan fatwa bahwa tidak wajibnya
untuk mengenakan jilbab , dengan metode analisis isi penulis menganalisis
buku-buku karya Quraish Shihab dan beberapa opini sebagai bahan rujukan dalam
membuat kesimpulan
A. Latar
Belakang
Bagi
setiap muslimah menutup aurat adalah sebuah kewajiban, aurat dalam shalat
adalah menutup semua anggota tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan dan
seluruh ulama dan mujtahid menyetujuinya. Tapi bagaimana aurat untuk kegiatan sehari-hari
kita? Terjadi perbedaan pendapat dari para ulama mengenai jilbab. Memakai
jilbab merupakan kewajiban bagi setiap muslimah yang telah baligh (tandanya
adalah keluar darah haid)[1]. Fungsi jilbab adalah
untuk menutupi aurat dari penglihatan orang yang bukan mahram.
Penentuan
batas aurat ini adalah suatu hal furu’ (cabang) yang bersifat ijtihadi.
meskipun terdapat dua ayat Al-Qur’an yang secara tekstual memiliki pengertian
berbeda mengenai batasan aurat yang diwajibkan tertutup jilbab, namun hukum jilbab
adalah wajib dan ini disepakati oleh mayoritas ulama. Namun, didalam menentukan
kewajiban hukum memakai jilbab yang telah disepakati oleh ulama salaf muktabar pada
zaman itu, penulis menemukan pendapat ulama kontemporer yang mengatakan bahwa kaum muslimah yang telah balig tidak wajib
memakai jilbab. Di antara ulama yang mengemukakan pendapat tersebut adalah
Muhammad Syahrur, beliau berpendapat bahwa ayat-ayat tentang jilbab dalam
al-Qur’an itu bukanlah ayat-ayat tasyrī’ (penetapan hukum) namun termasuk ayat
taklim (pengajaran) sebab khiṭāb yang disebutkan adalah Muhammad sebagai Nabi
bukan Muhammad sebagai Rasul[2]. Dan ulama lain yang mempunyai
pendapat yang sama adalah Qāsim Āmin yang biasa disapa Muḥarrir Al-Mar’ah
(pembebas wanita).
Munculnya
macam-macam perbedaan penetapan hukum berjilbab ini bukanlah hal furū’
(cabang), tetapi akan termasuk hal aṣl (pokok). Uniknya, diantara pendapat yang
mewajibkan dan pendapat yang tidak mewajibkan berjilbab dituliskan semua dalam
buku-buku yang disusun oleh ulama Indonesia yang terkenal yakni M. Quraish
Shihab. Sikap dari Quraish Shihab demikian itu menimbulkan banyak kontroversi
dari mayoritas ulama, karena beliau terkesan membingungkan. Terlebih lagi,
beliau juga pernah menyatakan fatwanya kepada umat islam melalui media
elektronik. Maka dari itu, penulis berkeinginan untuk meneliti makna jilbab
menurut beliau. Karena beliau adalah salah satu mufasir yang ternama di
Indonesia dan banyak menjadi sorotan masyarakat muslim di seluruh penjuru
dunia.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka penulis merusmuskan beberapa masalah yang didapat
sebagai berikut:
1. Bagaimana
pandangan Quraisy Syihab terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang hijab?
2. Metode-metode
apa yang dipakai Quraish Syihab dalam membangun argumennya?
3. Apa
kelebihan dan kekurangan argumen Quraish Shihab?
A. Kajian
Pustaka
Melihat
dari uraian latar belakang diatas, walaupun terdapat dua ayat Al-Qur’an yang
mewajibkan memakai jilbab. Namun terjadi perbedaan antara jumhur ulama dengan para
pembaharu Islam kontemporer tentang hukum jilbab. Salah satu yang berpendapat
tidak wajibnya jilbab adalah Quraish Shihab, beliau adalah seorang ulama dan mufasir
Indonesia yang berpendapat bahwa wanita Indonesia tidak diwajibkan memakai
jilbab. Penulis berpikir bahwa penting untuk mengkaji masalah ini karena
sebelum kita berpihak dan mengikuti pendapat tersebut, tentunya kita harus mengetahui
pendapat yang paling rajîh, pendapat yang sinkron dengan kondisi sosial dan
kebutuhan masyarakat, serta kelebihan dan kelemahan masing-masing argumen, baik
yang mewajibkan maupun yang tidak mewajibkan jilbab. Karena sebagaimana
diketahui bahwa para ulama masa lalu sepakat tentang bagian rambut wanita
sebagai aurat, namun para ulama kontemporer, juga mayoritas ulama Indonesia
pada masa lalu justru membolehkan wanita muslimah memakai kerudung (yang menampakkan
sebagian rambut dan leher wanita). Perbedaan fakta ini menimbulkan pertanyaan
besar dalam benak kita, dan akan kita bahas disini.
AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM
Al-Qur’an
merupakan sumber utama sebagai rujukan hukum islam, dan didalamnya terdapat dua
macam ayat yaitu muhkam dan mutasyabih, ayat muhkam adalah ayat yang memiliki
satu makna dan tidak dapat diartikan selain makna tersebut. Dan ayat mutasyabih
adalah ayat yang multi tafsir, dapat diartikan sesuai dengan pemahaman para
mufasir dalam memaknai ayat tersebut. Pada pembahasan tentang jilbab terjadi
perbedaan pendapat dari kalangan para mujtahid pada kewajiban untuk mengenakan
jilbab. Dan dasar hukum untuk memakai jilbab dijelaskan dalam firman Allah SWT
surat An-Nur : 31 dengan arti sebagai berikut:
QS.AN-NUR:31
Katakanlah
kepada wanita yang beriman :“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan, kecuali
yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau
putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki
mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.
Dapat
diketahui dari ayat diatas bahwa Perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW di
atas adalah agar beliau menyampaikan kepada kaum mukminah agar menahan
pandangan, menjaga kemaluan, mengulurkan kain kerudung hingga menutupi dada
serta melarang untuk memperlihatkan perhiasan, kecuali yang biasa nampak, dan
kebolehan menampakkan perhiasan itu hanya dikhususkan bagi mahramnya saja.
Muncul
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam memaknai kalimat illâ mâ zhahara
minhâ (kecuali apa yang nampak darinya (perhiasannya)) dalam ayat ini.
Al-Qurthubi mengemukakan bahwa Ibnu Mas’ud memahami makna illâ mâ zhahara minhâ
sebagai pakaian. Sedangkan Sa’id bin Jubair, Atha’ dan Al-Auza’I berpendapat
bahwa yang boleh dilihat adalah wajah wanita, kedua telapak tangan di samping
busana yang dipakainya[3]. Sementara Ibnu Abbas[4], Qatadah dan Miswar bin
Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh dilihat termasuk juga celak mata,
gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita Arab dihiasi dengan
pacar, anting, cincin dan semacamnya[5]. Menurut keterangan Ibnu
Umar, Ikrimah dan Atha’ dalam riwayat Ibnu Katsir, perhiasan zhahir ialah muka
dan kedua telapak tangan, serta cincin. Riwayat Ibnu Katsir yang lain
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perhiasan zhahir ialah muka dan telapak
tangan[6]. Sedangkan menurut Tafsir
Khazîn, Ibnu Mas’ud menerangkan bahwa kecuali apa yang zhahir itu adalah
pakaian[7].
QS.AL-AHZAB : 59
Ayat
yang mewajibkan untuk memakai jilbab ini juga dikuatkan oleh firman Allah SWT
dalam Surat Al-Aḥzab : 59 dengan arti sebagai berikut:
Hai
Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri
orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah SWT adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ketika
membaca ayat ini juga muncul masalah tentang makna jilbab, karena disini para
mufasir berbeda pendapat. Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Muhammad Ibn Sirin
bertanya kepada Abidah al-Salamani tentang maksud penggalan ayat itu, lalu
Abidah mengangkat semacam selendang yang dipakainya dan memakainya sambil
menutup kepalanya hingga menutupi pula kedua alisnya dan wajahnya dan membuka
mata kirinya untuk melihat dari arah sebelah kirinya. Al-Suddi menyatakan bahwa
wanita menutup salah satu matanya dan dahinya, demikian jika bagian lain dari
wajahnya kecuali satu mata saja. Pakar tafsir Al-Alusi menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan kata ‘alaihinna adalah seluruh tubuh mereka. Akan tetapi
menurutnya ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah di atas kepala
mereka atau wajah mereka karena yang nampak pada masa jahiliyah adalah wajah
mereka[8].
Al-Biqa’i
menjelaskan beberapa pendapat seputar makna jilbab. Diantaranya adalah baju
yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, atau pakaian yang menutupi
baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua pakaian yang menutupi badan
wanita. Semua pendapat ini menurut ulama itu dapat merupakan makna kata
tersebut. Kalau yang dimaksud dengan jilbab adalah baju, maka ia adalah pakaian
yang menutupi tangan dan kakinya. Kalau kerudung maka perintah mengulurkannya
adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya pakaian yang menutupi baju,
maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya longgar sehingga menutupi semua
badan dan pakaian[9].
Dari
kedua ayat di atas, terdapat perbedaan batasan aurat yang disebutkan.Yang
pertama dalam surat An-Nur: 31 menyebutkan perintah untuk menjulurkan jilbab
hanya sampai dada, dan yang kedua dalam surat Al-Aḥzab: 59 ini memerintahkan
untuk mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh. Hampir semua ulama sepakat bahwa
perintah ayat di atas berlaku bukan saja pada zaman Nabi saw, tetapi juga
sepanjang masa hingga kini dan masa yang akan datang. Namun sementara ulama
kontemporer memahaminya hanya berlaku pada zaman Nabi saw di mana ketika itu
ada perbudakan dan diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita
merdeka, serta bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Menurut penganut
paham terakhir ini, jika tujuan tersebut telah dapat dicapai dengan satu dan
cara lain, maka ketika itu pakaian yang dikenakan telah sejalan dengan tuntunan
agama.
HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM
Adapun
sumber hukum dari hadis (tentang batas aurat wanita) yang diperdebatkan para
ulama diantaranya adalah hadis berikut:
Pertama,
hadis dari Aisyah r.a., ia berkata: “Bahwa Asma’ putri Abu Bakar r.a. datang
menemui Rasulullah saw dengan mengenakan pakaian tipis (transparan), maka
Rasulullah saw berpaling enggan melihatnya dan bersabda, “Hai Asma’,
sesungguhnya perempuan jika telah haid maka tidak lagi wajar terlihat darinya
kecuali ini dan ini” (sambil beliau menunjuk ke arah wajah dan kedua telapak
tangan beliau) (Abu Dawud. kitab al-Libas, hadis no.4104).
Hadis
ini dinilai dengan penilaian yang berbeda-beda oleh para pakar hadis. misalnya
Abu Dawud menilai hadis ini mursal karena Khalid bin Duraik yang dalam sanadnya
menyebut nama istri Nabi Aisyah r.a. secara pribadi, sedang ia tidak semasa
dengan Aisyah[10](Dawud,
t.th). Imam Muslim menyatakan hadis ini mursal, sehingga tidak dapat dijadikan
hujjah[11]. Selain Khalid bin
Duraik, terdapat nama perawi lain yang juga dianggap bermasalah menurut pandangan pakar hadis, yaitu Said bin Basyir
ada yang menilainya dha’if[12]. Sedangkan dari sisi
matan, hadis ini juga ditolak karena tidak mungkin Asma’ yang terkenal sebagai
wanita yang baik keberagamaan dan ketaqwaannya berani berpakaian tipis ketika
menghadap Rasulullah saw[13]. Sedangkan al-Albani
menilai hadis ini shahîh dengan alasan bahwa ada sekian banyak riwayat yang
senada dengannya, sehingga hadis di atas dapat dinilai shahîh[14]. Hampir serupa dengan
pendapat al-Albani, Syeikh Muhammad al-Ghazali yang juga menilai hadis ini
mursal menegaskan bahwa karena dikuatkan oleh beberapa riwayat lainnya, hadis
ini jauh lebih kuat dibanding hadis yang dijadikan dasar kewajiban menutup
seluruh tubuh wanita. Selain itu ia juga berpendapat bahwa ada sebagian wanita
pada masa jahiliyah dan juga pada masa Islam yang kadang-kadang menutupi wajah-wajah
mereka seraya membiarkan mata mereka tanpa penutup. Perbuatan seperti ini
menurutnya jelas termasuk adat-istiadat dan sama sekali tidak termasuk ibadah.
Karena menurutnya tidak ada ibadah tanpa nash yang jelas[15].
Kedua,
hadis dari Abdullah bia Abbas r.a., ia berkata:
“Rasulullah
saw membonceng al-Fadhl putra al-Abbas r.a. pada hari an-Nahr (lebaran Haji) di
belakang kendaraan (unta) beliau. Al-Fadhl adalah seorang pria yang berseri
(gagah). Nabi saw berdiri memberi fatwa pada khalayak. Lalu datang seorang
perempuan dari suku Khats’am, berseri (cantik) dan bertanya kepada Rasulullah
saw. al-Fadhl terus-menerus memandangnya dan kecantikan wanita itu menakjubkannya,
maka Nabi menoleh sedang al-Fadhl melihat kepada wanita itu, lalu Nabi
memalingkan dengan tangan beliau dagu al-Fadhl, beliau memalingkan wajah
al-Fadhl dari pandangan kepada wanita itu. lalu wanita itu berkata,
“Sesungguhnya kewajiban yang ditetapkan Allah atas hamba-hamba-Nya adalah haji,
tetapi saya mendapatkan ayah saya dalam keadaan tua tidak mampu duduk di atas
kendaraan, maka apakah boleh saya menghajikan untuknya?” Nabi menjawab, “Ya.”
(Bukhari, kitab al-Maghazi, hadis no.4048. Hadis ini juga diriwayatkan oleh
Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, dan lain-lain).
Para
ulama tidak mempermasalahkan ke-shahih-an hadis ini, meskipun terjadi
perdebatan panjang tentang makna hadis tersebut. Hadis ini menunjukkan bahwa
terdapat bagian tubuh wanita yang dapat dilihat atau tidak harus ditutup, dalam
hal ini menurut banyak ulama adalah wajah dan tangannya. Ulama yang menyatakan
seluruh tubuh wanita aurat menolak pemahaman seperti itu. mereka berargumen
dengan sederet alasan, diantaranya: Pertama, perbuatan Nabi saw memalingkan
wajah al-Fadhl menunjukkan adanya larangan menampakkan wajah perempuan. Kalau
hal itu dibolehkan, tentu Nabi saw tidak akan berbuat demikian. Kedua, bisa
jadi kecantikan wanita dalam hadis tersebut diketahui melalui bentuk tubuhnya,
atau jari-jarinya. Ketiga, kalaupun dikatakan bahwa wajah wanita itu terbuka,
maka itu disebabkan karena dia dalam keadaan berihram. Sedangkan wanita yang
berihram boleh membuka wajahnya
B. METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
analisis isi (content analysis method), sumber data berasal dari beberapa karya
Quraish Shihab, diantaranya Tafsir al-Misbah, yang merupakan referensi pokok
yang tidak bisa diabaikan dalam penelitian ini. Pengumpulan data dengan cara
mengklasifikasikan ayat-ayat dan hadis-hadis yang dijadikan sumber perdebatan
para ulama masa lalu dan kontemporer tentang hukum memakai jilbab dalam bentuk
per-tema maupun per-bab. Selanjutnya analisis dilakukan dengan beberapa metode
berikut: Pertama, metode deduktif digunakan untuk menjelaskan dan menyimpulkan
prinsip-prinsip dan teori-teori thariqatul istinbath al-ahkam yang digunakan,
serta faktor yang mempengaruhinya. Kedua, metode hermeneutika-kritis digunakan
untuk memahami dan kemudian melakukan analisa kritis atas sumber, metode dan
aplikasi ijtihad Quraish Shihab dalam masalah yang diteliti.
C. PAPARAN
DAN ANALISIS DATA
PANDANGAN QURAISH SHIHAB
Setelah
kita mengetahui hukum Jilbab dan pandangan para mufasir dalam menerjemahkan
QS.An-Nur:31, bagaimana Pandangan Quraish shihab terhadap Qs.An-Nur dan
bagaimana tanggapan beliau tentang perbedaan pandangan para mufasir sebelumnya,
beliau berpendapat bahwa masing-masing
penganut pendapat di atas sebatas menggunakan logika dan kecenderungannya serta
dipengaruhi secara sadar atau tidak dengan perkembangan dan kondisi sosial
masyarakatnya. Batas aurat wanita tidaklah secara jelas ditegaskan dalam ayat
tersebut. Sehingga ayat tersebut tidak seharusnya menjadi dasar yang digunakan
untuk menetapkan batas aurat wanita[16] Selain itu, beliau juga
menegaskan bahwa perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya tidak selalu harus
diartikan wajib atau haram, tetapi bisa juga perintah itu bermakna anjuran,
sedangkan larangan-Nya dapat berarti sebaiknya ditinggalkan[17].
Sementara
dalam memahami kalimat illâ mâ zhahara minhâ, Quraish Shihab berpendapat bahwa
sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam
penetapan hukum, namun dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari
prinsip-prinsip ajaran agama serta norma-norma umum. Karena itu ia sampai
kepada pendapat bahwa pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai
oleh putri-putri Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan
sebagai telah melanggar aturan agama[18].
Pandangan
Quraish shihab terhadap Qs.Al-Ahzab Terlepas apapun makna jilbab yang diyakini
oleh tiap-tiap mufasir, yang lebih penting menurut Quraish Shihab adalah apakah
perintah mengulurkan jilbab pada ayat tersebut berlaku hanya pada zaman Nabi
saw atau berlaku sepanjang masa? Quraish Shihab memahami perintah tersebut
hanya berlaku pada zaman Nabi saw, dimana ketika itu ada perbudakan dan
diperlukan adanya pembeda antara mereka dan wanita-wanita merdeka, serta
bertujuan menghindarkan gangguan lelaki usil. Menurutnya, sebelum turunnya ayat
ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak – yang baik-baik atau yang
kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. Karena itu lelaki usil sering kali
mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui atau duga sebagai
sahaya. Untuk menghindarkan gangguan tersebut, serta menampakkan keterhormatan
wanita muslimah ayat di atas turun[19].
Hadits
kedua Dalam mengomentari hadis ini Quraish Shihab berpendapat bahwa wanita
dalam hadis itu terlihat cantik, tanpa menyatakan bahwa wajah dan telapak
tangannya terbuka. Memang kecantikan sangat mudah hanya dapat diketahui dari
wajah, sehingga kemungkinan terbukanya wajah wanita itu merupakan sesuatu yang
sangat logis. Bahkan jika ada yang berkata bahwa selain wajahnya – misalnya setengah
tangannya atau lebih dari itu terlihat pula – maka tidak dapat ditolak dengan
hadis di atas[20].
Artinya bisa saja dikatakan bahwa kecantikan wanita itu terlihat jelas sedang
ketika itu ia tidak menggunakan jilbab, dan pernyataan semacam ini tidak dapat
disalahkan dengan hadis ini.
Adapun
Quraish Shihab cenderung menganggap bahwa semua kemungkinan yang dikemukakan
oleh kedua kelompok ulama tersebut dapat saja terjadi, meskipun ia merasa
sebagian dalih yang dikemukakan terkesan agak dibuat-buat. Menurutnya, jilbab –
baik dengan membuka wajah atau menutupnya – pada masa Nabi saw, disamping
dipercaya sebagai tuntunan agama juga telah merupakan tuntunan budaya[21]. Sekali lagi Quraish
menegaskan bahwa interpretasi dalil atau dalih yang dikemukakan oleh para ulama
tidak sampai pada batas yang dapat membuktikan secara pasti pendapat
masing-masing[22].
Dengan kata lain, Quraish tidak menganggap bahwa ayat al-Qur’an maupun hadis di
atas tidak bisa dijadikan dasar pendapat bahwa selain wajah dan kedua telapak
tangan, seluruh bagian tubuh wanita adalah aurat. Di sini Quraish Shihab
tampaknya mulai melepaskan diri dari pendapat-pendapat ulama terdahulu yang
selama ini menghegemoni pandangan kaum muslimin tentang batas aurat.
Pendekatan dan Metode yang digunakan
Quraish Shihab
Quraish
Shihab menggunakan beberapa pendekatan dan metode yang biasa dipakai oleh para
ulama dalam berijtihadn untuk membangun argumennya, yaitu:
Pertama,
Pendekatan Tarjih. Kalau pemaknaan tarjih oleh ulama kontemporer yang
mengartikan tarjih sebagai upaya menyeleksi beragam pendapat yang berasal dari beragam madzhab, kemudian diambil
pendapat yang rajih, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dapat diterima,
maka dapat dikatakan bahwa Quraish sebenarnya juga telah menerapkan pendekatan
ini. Bahkan, kalau kita memakai definisi Coulson yang menyebut tarjih sebagai
upaya takhayyur atau prinsip pilihan bebas[23], maka dapat dipastikan
bahwa Quraish Shihab telah menggunakan metode tarjih. Sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Quraish Shihab telah melemahkan semua dalil yang
digunakan para ulama masa lalu dalam menetapkan batas aurat wanita dengan cara
mengkritik satu-persatu keadaan sanad hadis yang menjadi dalil-dalil wajibnya
jilbab, bahkan tidak hanya dari aspek sanad, tetapi juga dari segi cara-cara
penafsiran-penafsiran yang dikemukakan para ulama dianggapnya tidak sampai pada derajat yang
meyakinkan. Setelah melakukan tarjih atas hadis-hadis itu ia berpendapat bahwa
perbedaan pendapat para pakar masa lampau tentang batas-batas yang ditoleransi
untuk terlihat dari wanita, membuktikan bahwa mereka tidak sepakat tentang
nilai ke-shahîh-an riwayat-riwayat yang ada, dan ini sekaligus menunjukkan
bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi itu bersifat zhanniy
(dugaan) yang boleh jadi dinilai kuat oleh satu pihak dan dinilai lemah oleh
pihak lain. Menurutnnya, seandainya terdapat hukum yang pasti yang bersumber
dari al-Qur’an atau Sunnah, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak akan
menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas atau sempitnya batas-batas itu.
selanjutnya ia menegaskan bahwa menutup seluruh kepala baru tegas menjadi wajib
hanya jika para ulama bersepakat menilai shahîh hadis Aisyah r.a. yang
mengecualikan wajah dan telapak tangan untuk terbuka. Sedangkan kenyataannya para
ulama berbeda pendapat tentang nilai serta interpretasi hadis tersebut.
Kedua,
Pendekatan ‘illat al-hukm. Secara bahasa,‘illat adalah suatu sebab dimana hukum
itu diterapkan. Adapun syarat utamanya adalah suatu ‘illat hukum mesti jelas,
konsisten dan sesuai dengan maqâshid syarî’ah, yaitu membawa kemaslahatan.
Quraish Shihab menggunakan metode ini untuk memahami maksud QS. Al-Ahzab: 59
yang memerintahkan wanita mengulurkan jilbab dengan tujuan membedakan antara
wanita merdeka dengan hamba sahaya, atau antara wanita terhormat dengan yang
tidak terhormat pada masa turunnya ayat tersebut, agar wanita terhormat tidak
diganggu oleh lelaki usil. Adapun pada masa sekarang ketika perbudakan sudah
tiada, dan pada konteks masyarakat tertentu keterhormatan atau ketidakterhormatan
tidak disimbolkan dengan pakaian jilbab, maka jika demikian, yang penting dalam
konteks pakaian wanita adalah memakai pakaian yang terhormat – sesuai dengan
perkembangan budaya positif masyarakat terhormat – dan yang mengantar mereka
tidak diganggu atau mengganggu dengan pakaiannya itu. di sisi lain, penampakan
setengah betis telah menjadi kebiasaan umum dan tidak lagi menimbulkan
rangsangan bagi masyarakat umum, dan juga tidak mengurangi keterhormatan
seorang wanita. Sehingga berpakaian nasional dengan penampakan rambut serta
setengah betis bagi wanita dapat dibenarkan. Hal itu disebabkan karena ketidaan
‘illat hukum dapat membatalkan diterapkannya hukum. ‘Illat seperti ini termasuk
dalam dalalah syarahah, yaitu ‘illat yang disebutkan secara jelas oleh ayat
jilbab tersebut.
Ketiga,
Metode istihsan (bi al-‘Urf). Menurut penulis, Quraish Shihab tampak
menggunakan metode istihsan (bi al-‘Urf) dalam argumennya. Yaitu ketika ia
memahami kalimat illâ mâ zhahara minhâ, dan sampai pada pendapat bahwa sangat
penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam penetapan
hukum (dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip-prinsip
ajaran agama serta norma-norma umum), dan menggunakan alasan diamnya ulama
Indonesia pada masa lalu melihat cara berpakaian wanita muslimah yang cenderung
tradisionalis (tanpa memakai jilbab) sebagai bentuk kesepakatan dari cara
berpakaian wanita muslimah ketika itu, dan sampainya ia pada pendapat bahwa
pakaian adat atau pakaian nasional yang biasa dipakai oleh putri-putri
Indonesia yang tidak mengenakan jilbab tidak dapat dikatakan sebagai telah
melanggar aturan agama, maka ia tampak menggunakan metode istihsan (bi
al-‘urf).
Menurut pembacaan
penulis, kata jilbab pada QS. Al-Ahzab [33]: 59 tidak dimaksudkan untuk
menyembunyikan perempuan muslim dari laki-laki muslim, tetapi untuk membuat
mereka tampak jelas, sehingga bisa dikenali atau dibedakan oleh laki-laki
jahiliyah, karena itu jilbab merupakan bentuk perlindungan terhadap para
wanita.
Bentuk pengakuan atau
perlindungan ini berakar dari struktur sosial masyarakat yang melegalkan
kepemilikan budak, dimana pelecehan seksual – terutama terhadap para budak –
merupakan fenomena umum. Meskipun sangat memuakkan, praktik-praktik pengekangan
terhadap perempuan bukan hanya terjadi di negeri Arab, praktik tersebut bahkan
dipandang normal pada masa itu. Dalam masyarakat kuno, wanita-wanita yang lalu
lalang di depan publik dipandang sebagai pelacur. Karenanya dalam masyarakat
semacam itu, ketentuan tentang jilbab berfungsi untuk membedakan perempuan yang
berada di bawah perlindungan laki-laki dan perempuan yang bersedia dilecehkan
secara seksual[24]
. Jadi dalam menetapkan ketentuan tentang jilbab, al-Qur’an secara eksplisit
mengaitkan jilbab dengan masyarakat yang mengakui sistem perbudakan, dimana
pelecehan perempuan oleh laki-laki nonmuslim sudah lumrah terjadi, dan
tujuannya adalah untuk membedakan perempuan beriman yang merdeka dari para
budak, yang biasanya dipandang oleh laki-laki jahiliyah sebagai perempuan
nonmuslim sehingga dapat mereka perlakukan semau mereka.
Jadi, hanya dalam
masyarakat jahiliyah yang mengakui sistem perbudakan itulah jilbab menandakan
perlindungan dari pelecehan seksual, dan itupun sekiranya laki-laki jahiliyah
mau memaknainya dengan cara seperti itu. konsekwensinya, meskipun dipakai oleh
perempuan muslimah, jilbab menggambarkan fenomena pelecehan dan kebebasan
seksual laki-laki jahiliyah pada masa ketika perempuan tidak memiliki
perlindungan hukum atas pelecehan seksual, dan harus mengandalkan diri sendiri
untuk melindunngi dirinya. Lebih jauh, seperti yang dinyatakan dengan tegas
dalam ayat tersebut, pada masa pewahyuannya, beberapa laki-laki jahiliyah
melancarkan propaganda terhadap kaum muslimin (termasuk juga upaya melecehkan
istri Nabi, Aisyah r.a. dengan cara menyerang integritas pribadinya). Jadi,
perempuan muslimah memiliki alasan ganda untuk bersikap hati-hati terhadap
pelecehan oleh laki-laki nonmuslim.
Selama meneliti pemikiran
Quraish Shihab tentang masalah jilbab ini, penulis mencatat beberapa poin yang
penulis anggap sebagai kelebihan dan beberapa poin lagi yang penulis anggap
sebagai kelemahan terhadap pemikirannya.
Adapun kelebihannya
diantaranya: Pertama, Kalau kita lihat dari sisi ‘urf bahasa, sebelum ayat 31 surat an-Nur, yaitu
ayat 27 hingga 29 membicarakan tentang anjuran meminta izin terlebih dahulu
ketika hendak memasuki rumah orang lain. Sedangkan pada ayat 32 (setelah ayat
jilbab) membicarakan tentang anjuran membantu laki-laki atau wanita yang belum
kawin dengan hamba sahaya (agar terhapus perbudakan). Berdasarkan ‘urf bahasa,
kalau ayat sebelum dan sesudah ayat jilbab (ayat 31) tersebut berbicara tentang
anjuran, maka ayat jilbab pun juga membicarakan tentang anjuran, bukan
kewajiban. Hal tersebut didukung dengan kenyataan bahwa semua ayat baik sebelum
maupun sesudah ayat jilbab, selalu dihubungkan dengan bentuk kata hubung wa.
Sedang kata wa sebagaimana yang disepakati ahli bahasa, memiliki bentuk
penekanan yang sama. Kedua, Hadis mursal adalah dha’if dan tidak bisa dijadikan
hujjah. Ini adalah pendapat mayoritas ahli hadis. Pada dasarnya para ulama
tidak mempermasalahkan tentang gugurnya periwayat dari tingkat sahabat, tetapi
karena adanya kemungkinan yang gugur dalam urutan periwayatan hadis mursal tersebut
adalah dari tingkat tabi’in. Ketiga, tidak ada pengharaman kecuali dengan nash
yang shahîh dan sharîh. Pada dasarnya manusia terbebas dari tanggungan dan
taklif (beban tugas), dan tidak ada taklif kecuali dengan nash yang pasti.
Karena itu, masalah mewajibkan dan mengaharamkan dalam agama merupakan suatu
urusan yang serius, tidak boleh sembarangan. Sehingga apa yang tidak diwajibkan
oleh Allah, atau tidak diharamkan oleh-Nya, maka manusia tidak boleh mewajibkan
atau mengharamkannya.
Selain beberapa kesepakatan
tersebut, ada beberapa poin yang menjadi bahan kritikan peneliti terhadap
argumen-argumen Quraish Shihab. Pertama, Quraish Shihab menyatakan bahwa
masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah[25]. Pendapat itu memang
benar, akan tetapi para ulama masa lalu tidak berselisih tentang wajibnya
jilbab. Sebagaimana yang telah dijelaskan Quraish sendiri bahwa para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan batas aurat wanita. Mereka terbagi menjadi
dua kelompok: Pertama, kelompok yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat;
Kedua, kelompok yang menyatakan seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan
telapak tangan[26].
Artinya para ulama sepakat bahwa memakai jilbab adalah wajib, mereka hanya
berbeda pendapat dalam masalah apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat
atau tidak. Kecuali kalau Quraish Shihab memasukkan ulama kontemporer tentu
dapat dibenarkan bahwa jilbab adalah masalah khilafiyah. Namun jika yang
dimaksud adalah ulama masa lalu, maka tentu kurang tepat. Kedua, pemaparan
Quraish Shihab tampak tidak seimbang. Sebab Quraish lebih banyak menyebutkan
pendapat para ulama yang mewajibkan jilbab secara singkat tanpa menjelaskan
argumen-argumen mereka secara memadai, sebaliknya ia hanya menyebut beberapa
saja dari para ulama dan cendikiawan yang tidak mewajibkan jilbab, meskipun
dengan mengemukakan argumen-argumen mereka yang sangat panjang. Hal seperti ini
menurut penulis jika dilihat dari sudut pandang ilmiah dapat menurunkan
objektifitas Quraish Shihab sebagai pemikir yang benar-benar ingin menyampaikan
kebenaran.
D. KESIMPULAN
Quraish Shihab tidak
mewajibkan wanita muslimah di Indonesia memakai jilbab. Menurutnya, memakai
jilbab bukanlah termasuk perintah agama, karena tidak boleh dikatakan syari’at
tanpa nash yang jelas. Sedangkan pendekatan yang digunakan Quraish adalah
pendekatan tarjih dan pendekatan ‘illat al-hukm, serta metode istihsan bi
al-‘urf. Pandangan Quraish Shihab juga dipengaruhi oleh pemikiran para
pembaharu dan cendikiawan kontemporer seperti Qasim Amin, Muhammad Abduh, Sa’id
al-Asymawi, serta Thahir bin Asyur.
Beberapa hal yang menulis
sepakati dari argumen Quraish adalah kesesuaiannya dengan ‘urf bahasa, tidak
menggunakan hadis mursal sebagai dalil hukum, serta tidak mengharamkan kecuali
dengan nash yang shahîh dan sharîh. Adapun kritikan penulis terhadap argumen
Quraish Shihab adalah pernyataannya bahwa masalah batas aurat wanita adalah
masalah khilafiyah. Itu memang benar, tetapi para ulama masa lalu sepakat
tentang wajibnya rambut wanita ditutup baik di dalam maupun diluar sholat.
Selain itu pemaparan Quraish Shihab juga tampak tidak seimbang. Sebab Quraish
lebih banyak menyebutkan pendapat para ulama yang mewajibkan jilbab secara
singkat tanpa menjelaskan argumen-argumen mereka secara memadai, sebaliknya ia
hanya menyebut beberapa saja dari para ulama dan cendikiawan yang tidak
mewajibkan jilbab, meskipun dengan mengemukakan argumen-argumen mereka yang
sangat panjang.
Demikian uraian panjang mengenai
pemikiran Quraish Shihab tentang jilbab. Namun sebelum penulis mengakhiri hasil
kajian ini, penulis menangkap kesan bahwa selama ini, kita hampir tidak bisa
membedakan mana budaya Arab dan mana ajaran Islam. Ketidakpahaman itu berakibat
pada sikap sementara umat Islam yang rejektif terhadap budaya yang ada.
Konsekwensinya Islam terasa sempit dan kaku. Menutup aurat merupakan ajaran
Islam yang baku dan mesti dilakukan dimanapun. Ini merupakan contoh Islamisasi.
Bagaimana cara menutup aurat? Islam memberikan kebebasan untuk memilihnya. Namun
yang jelas menurut penulis, masalah menutup aurat diserahkan kepada adat
masyarakat setempat.
[1] Hukum memakai jilbab bagi muslimah, suara
Muhammadiyah, no.5, thn.ke-96, hal.15
[2]
Abdul Mustaqim, Epistemologi tafsir kontemporer (Bantul: LKIS,2011), hlm.277
[4] Katsir,
Abu al-Fida’ al-Wafa Ismail Ibn, 1986, Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Fikr,
jilid 3
[5]
Al-Qurthubi, Muhammad Ibn Ahmad al-Anshari, 1998, Al-Jami’ li al-Ahkam
Al-Qur’an. t.tp: Dar Ulum Al-Qur’an, Jilid 12 dan 14.hal.335
[6]
Al-Dimsiqy, Imaduddin Ismail Ibn Amr Ibn Katsir al-Quraisy, t.th, Tafsir Al-Qur’an
Al-Azhim, Mesir: Dar Al-Halabiy.hal.335
[7] Al-Khazin,
Abdullah Ibn Muhammad, 1399 H, Lubab Al-Ta’wil fi Ma’ani Al-Tanzil, Beirut: Dar
al-Fikr.hal.235
[8] Al-Alusi,
Mahmud, 1985, Ruh al-Ma’ani, Kairo: Al-Muniriyah, cet.4, jilid 22.hal.84
[9]
Al-Biqa’i, Ibrahim bin Umar, 1995, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa
as-Suwar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet.1, jilid 6.hal.135
[10]Dawud,
Abu, t.th, Tahqiqi Muhammad Abdul Aziz al-Khalidi, Beirut: Dar as-Sunnah
an-Nabawiyah, jilid 3.
[11] Al-Nawawi,
t.th, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawiy, Mekkah: Maktabah Dar al-Baz, jilid 1.
[12] Al-Asqalani,
Ahmad Ibnu Hajar, t.th, Fath al-Bari.
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet. 2, Jilid 8.hal.9
[13] Ismail,
Muhammad Ahmad, t.th, Audat al-Hijab, Riyadh: Dar ath-Thibah, jilid 3.hal.339
[14]
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 1413 H, Jilbab al-Mar’ah al-Muslimat fi
al-Kitab wa As-Sunnah, Yordan: Maktabah al-Islamiyah, cet.2.hal.44
[15]
Al-Ghazali, Muhammad, 1989, As-Sunnah An-Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl
Al-Hadits, Kairo: Dar Asy-syuruq, cet.5.hal.55
[16]
Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.67
[18]
Shihab,Quraish, 1996, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawdhu’i atas Berbagai
Persoalan Umat, Bandung: Mizan hal.179
[19]
Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.309
[20]
Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.107
[21]
Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.118
[22]
Shihab,Quraish 2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.111
[23]
Coulson, Noel J. 1964, A History of Islamic Law, Edinburg: Edinburg University
Press.hal.185
[24]
Ahmed, Leila, 1992, Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern
Debate, New Haven, Connecticut: Yale University Press.hal.15
[25]
Syihab, Quraish,2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.10.hal.180
[26]
Syihab, Quraish,2006, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati, cet 6, Jilid 5 dan 9.hal.10.hal.94
Comments
Post a Comment